Ungkapan sepasang merpati sebagai simbol
kesetiaan dalam cinta rupanya mengandung makna sesungguhnya dan bukan
sekedar ungkapan tanpa dasar. Ternyata kehidupan merpati secara alamiah
memang mempunyai sifat-sifat unik dan hal ini sudah dikenal sejak lama.
Keunikan burung ini dapat dilihat dari
ikatan perkawinan yang cenderung setia dan tidak dapat dipisahkan antar
pasangannya (merpati jantan dan betina). Bahkan bila salah satu
pasangannya mati tidak bisa digantikan dengan yang lainnya. Merpati yang
juga mempunyai kecenderungan suka pada pasangannya yang sejenis kelamin (homosex atau lesbian).
Sifat setia atau monogami ini mangakibatkan usaha burung merpati
ini kurang efisien karena peternak harus memberi makan burung jantan
yang tidak produktif (menghasilkan anak). Pasangan yang setia ini hanya
akan menghasilkan telur dua butir saja per periode peneluran yang
selanjutnya dierami selama 18 – 19 hari. Menjelang anaknya berumur
sepuluh hari akan bertelur lagi begitu selanjutnya dengan proses yang
sama.
Dengan demikian pemeliharaan sepasang
merpati secara alami hanya mampu menghasilkan 24 ekor anak merpati
(piyik / squab) pertahunnya atau hanya 12 kali berperiode peneluran.
Rendahnya kemampuan berproduksi inilah sebagai penyebab utama dalam
usaha burung merpati penghasil squab.
Keadaan di atas menimbulkan pertanyaan mungkinkah produksi burung merpati dapat ditingkat dalam waktu yang singkat?
Secara teoritis dan pengalaman beberapa
peneliti ternyata merpati bisa bertelur sebanyak 66 – 72 butir pertahun
bila telurnya terus-terusan diambil tidak dierami oleh induknya tapi
oleh inkubator atau induk buatan. Ini berarti kemungkinan peningkatan
produksi anak merpati (squab) sampai 300% dibanding dipelihara secara
alami.
Pertanyaan berikut timbul apakah anak
merpati yang baru lahir bisa dipelihara tanpa induknya tetapi dengan
teknologi saat ini? Pertanyaan ini ada karena merpati muda diberikan
makan langsung dari induknya (“menyusui”) yang berbeda dengan anak ayam
yang baru menetas bisa mencari makan dan minum sendiri.
Metode hand feeding sebagai suatu alternatif
Sampai saat ini metode yang paling cepat
yang mungkin bisa dipakai untuk meningkatkan produksi squab adalah
dengan metode “Hand Feeding”. Merpati muda yang baru menetas masih buta
dan sangat lemah diberi makan dengan cara disuapi sebagai pengganti
induknya. Pekerjaan menyuapi ini memang memerlukan ketekunan dan
pengalaman. Cara sejarahnya ini sudah dikembangkan dari tahun 1915 di
Jerman dan pada akhirnya di negeri Cina ditemukan metode untuk
memelihara burung yang baru menetas dengan nama Hand Feeding.
Hand Feeding menggunakan pakan yang
disusun dari bahan-bahan murni (pure diet) dan di Bali metode ini sudah
bisa dilakukan sesuai dengan kondisi setempat dan meluas secara umum di
Indonesia. Cara ini dilandasi pada suatu kenyataan bahwa bahan pakan
anak merpati harus mudah tersedia. Hasilnya cukup menggembirakan karena
anak merpati yang baru lahir telah berhasil dipelihara dengan metoda
tersebut.
Bahan makanan yang dipergunakan adalah
telur ayam mentah dicampur dengan air yang diberikan sampai umur satu
minggu. Untuk selanjutnya diberikan makanan ayam fase starter sampai
umur 30 hari.
0 komentar:
Posting Komentar